Sejak Khilafah Islamiyah
lenyap dan kaum Muslim seperti anak ayam kehilangan induk, umat terus tercerai
berai dalam puluhan sekat negara. Terbuai
oleh ‘bagusnya’ kulit luar nasionalisme. Meskipun demikian, tekad untuk
mengentaskan kaum Muslim dari realita buruk yang menjadi realita hidup mereka
tidak pernah dan tidak akan terputus. Berbagai upaya kebangkitan terus
dilakukan. Bermacam usaha sekuat tenaga dikerahkan untuk mengubah realita
tersebut.
Oleh sebab itu, dalam usaha
mulia itu, banyak harokah, organisasi, dan jamaah ditengah-tengah kaum Muslimin
telah didirikan. Masing-masing telah menetapkan manhaj dan thariqoh mereka
sendiri. Ada yang fokus menyerukan pada amal kebaikan dan kedermawanan. Ada
yang menyerukan patriotisme dan nasionalisme. Ada yang menyerukan Jihad untuk
melakukan perubahan. Ada pula yang menyerukan pada perbaikan akhlak individu.
Ada juga yang berpandangan bahwa perubahan terjadi jika jamaah bergabung dalam
sistem pemerintahan (kufur) lalu merubah dari dalam. Ada yang menyerukan
perubahan secara bertahap. Ada pula yang meyakini bahwa perubahan dilakukan
dengan metode perjuangan politik dengan jalan mendirikan Daulah Islam. Seperti
yang pernah dilakukan Rasulullah hingga berdirinya negara Madinah. Dimana
Daulah Islam ini yang menerapkan hukum Allah di dalam negeri dan menyebarkan
Islam ke penjuru dunia.
Semua perbedaan manhaj masing-masing gerakan di atas ikut
turut mewarnai kehidupan dunia intelektual. Dunia kampus. Sebab, terbukti
kampus telah menjadi miniatur kehidupan negara. Dimana kampus memiliki seperangkat sistem dan
perangat lainnya. Dimana kehidupan kampus adalah kehidupan ‘keras’. Keras
karena kampus layak disebut sebagai pabrik kader. Yang memproduksi kader
dengan sistem dan angka produksi yang
memang sudah pasti dan jelas. Dengan pabrik kader yang beda kualitas pula,
sesuai dengan ‘persaingan’ dan pertarungan politik –ala mahasiswa- pada
berbagai gerakan. Yah…Gerakan Mahasiswa. Mirip dengan apa yang terjadi pada
harokah (dalam skala yang lebih besar). Ada yang bergerak dengan jargon
nasionalis. Ada yang bergerak atas nama sekulerisme. Ada yang bergerak dengan
pandangan sosialis. Ada yang bergerak dengan cara-cara pragmatis dan kapitalis.
Ada pula yang justru bergerak dengan gerakan ‘apatis’ nya -silahkan pembaca
memahami maksudnya-. Namun, yang tak kalah penting, ada juga gerakan yang
bergerak atas nama Islam. Dimana Islam menjadi satu-satunya azas sekaligus
cerminan gerak organisasi dan kadernya.
Akibat banyaknya perbedaan
cara pemikiran dan metode dari banyaknya gerakan mahasiswa, satu-satunya
pilihan hidup mahasiswa saat ia mendapatkan hak intelektualitas-nya ialah
dengan menceburkan diri dalam barisan gerakan mahasiswa yang berjuang atas nama
Islam. Dengan kata lain, mahasiswa tersebut harus ikhlas karena Allah menjadi
produk dari pabrik gerakan mahasiswa Islam yang melakukan produksinya sesuai
sistem operasi dakwah kampus. Tentu
bukan sembarang Islam. Islam yang dipilih adalah Islam Ideologis. Yang meyakini
bahwa Islam tidak hanya Dien spiritualitas
saja. Melainkan Dien yang bisa diterapkan ke tengah-tengah umat
lewat kekuasaan (negara). Yang menjadi solusi bagi problematika atau realitas
buruk yang menimpa kaum Muslim.
Akan tetapi, kemurnian dan
kejelasan metode gerakan dakwah kampus terus menjadi prioritas yang harus terus
dievaluasi dan dijaga. Mesti dipahami bahwa mahasiswa yang telah bergabung
dalam gerakan mahasiswa Islam yang bergerak dengan label dakwah kampus, harus
menjadi kader dakwah yang bersih pemikirannya. Kader dakwah yang tidak
berpandangan kabur, baik pandangan yang bersifat administrative, politik dan
pemikiran. Pandangan-pandangan tersebut wajib ditanam sedalam mungkin dengan
penuh keyakinan, diterima sukarela, tanpa reserve.
Mengapa masalah di atas
menjadi sesuatu yang penting dibahas? Sebab, pada tahapan dan kondisi terkini,
gerakan dakwah kampus ditantang kepada penyimpangan atas pandangan internal,
masukan dan nasihat dari kader dakwah maupun masyarakat kampus. Terutama saat
gerakan dakwah kampus Ideologis mengalami dakwah yang berjalan di tempat,
berdiri lama di depan pintu masyarakat kampus (objek dakwah kampus), dan tidak
kunjung berhasil memasukinya dengan mudah. Banyak fakta yang dijadikan dalih bagaimana ketika gerakan mahasiswa tersebut
bisa masuk ke dalam pintu masyarakat kampus dan memegang kendali, langsung
mengalahkan gerakan dakwah kampus. Alhasil, tak sedikit yang menafsirkan
sembarang siroh Rasulullah saw. Yang
mencoba bebas menakwilkan pemikiran gerakan dakwah kampus. Dampak buruk ini pun
akan terjadi saat gerakan dakwah kampus berhasil membuka pintu masyarakat
kampus. Akan muncul uslub yang tampak
dari luar bagus namun sebenarnya bertentangan dengan apa yang dicontohkan Nabi
saw.
Oleh karena itu, keikhlasan
kader dakwah kepada gerakan dakwah kampus harus terus dijaga. Gerakan dakwah
kampus harus menyadari semua uslub dan sarana serta memahami bahwa wajib berpegang teguh kepada fikroh, thariqoh, uslub-nya. Meskipun, membutuhkan waktu lama untuk menunggu di pintu
gerbang masyarakat kampus. Gerakan dakwah kampus juga harus bergerak sebagai
pihak berpengaruh bukan terpengaruh. Sebagai pihak yang mewarnai bukan
terwarnai. Pihak yang merubah bukan yang berubah. Serta dengan kelurusan
geraknya mampu menjatuhkan kepercayaan lawannya dan mampu mempertahankan
nilai-nilai internalnya dengan sekuat-kuatnya.
Gerakan dakwah kampus yang
bercorak ideologis juga tidak boleh menjaga jarak dengan masyarakat kampus.
Gerakan dakwah kampus harus berjuang di tengah-tengah dan bersama-sama
masyarakat kampus. Setiap perkara yang dapat menjauhkan gerakan dengan
masyarakat kampus harus disingkirkan. Sehingga lahir kesadaran dan pemahaman
tentang problematika besar dan mendasar yang menghalanginya. Dan jalan
satu-satunya untuk memecahkan seluruh problematika umat itu dengan meyakini
Islam sebagai ideologi. Yang harus diperjuangkan dan diterapakan secara total. Wallahu’alam
Referensi :
An-Nabhani, T.
2000. Terjun ke Masyarakat. Pustaka
Thariqul Izzah : Bogor.
Za’rur. A. 2009.
Seputar Gerakan Islam. Al Azhar :
Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar