M. Samsuri1,2, M. Gozan1, R. Mardias, M. Baiquni, H. Hermansyah1, A. Wijanarko1, B. Prasetya2, dan M. Nasikin1
1. Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Bogor 16911, Indonesia E-mail: mgozan@che.ui.edu
1. Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Bogor 16911, Indonesia E-mail: mgozan@che.ui.edu
Abstrak
Bagas merupakan residu padat pada proses pengolahan tebu menjadi gula,
yang sejauh ini masih belum banyak dimanfaatkan menjadi produk yang
mempunyai nilai tambah (added value). Bagas yang termasuk
biomassa mengandung lignoselulosa sangat dimungkinkan untuk
dimanfaatkan menjadi sumber energi alternatif seperti
bioetanol atau biogas. Dengan pemanfaatan sumber daya alam
terbarukan dapat mengatasi krisis energi terutama sektor
migas. Pada penelitian ini telah dilakukan konversi bagas menjadi
etanol dengan menggunakan enzim xylanase. Perlakuan dengan enzim
lainnya saat ini sedang dikerjakan di laboratorium kami mengingat
hemisulosa juga mengandung polisakarida lainnya yang dapat
didekomposisi oleh berbagai enzim. Hasil penelitian menunjukkan
kandungan lignoselulosa pada bagas sebesar lebih kurang 52,7%
selulosa, 20% hemiselulosa, dan 24,2% lignin.
Hemiselulosa merupakan polisakarida yang dapat dihidrolisis oleh
enzim xylanase dan kemudian akan difermentasikan oleh yeast
S. cerevisiae menjadi etanol melalui proses Sakarifikasi dan
Fermentasi Serentak (SSF). Beberapa parameter yang dianalisis pada
penelitian ini antara lain kondisi pH (4, 4,5, dan 5), untuk
meningkatkan kuantitas etanol dilakukan penambahan HCl
berkonsentrasi rendah (0,5% dan 1% (v/v)) dan bagas dengan perlakuan
jamur pelapuk putih (L. edodes) selama 4 minggu. Proses SSF
dilakukan dengan waktu inkubasi selama 24, 48, 72, dan 96 jam.
Perlakuan dengan pH 4, 4,5, dan 5 menghasilkan konsentrasi etanol
tertinggi berturut-turut 2,357 g/L, 2,451 g/L, 2,709 g/L. Perlakuan
penambahan HCl konsentrasi rendah mampu meningkatkan produksi etanol,
penambahan dengan konsentrasi HCL 0,5 % dan 1 % berturut-turut
menghasilkan etanol 2,967 g/L, 3,249 g/L. Perlakuan dengan menggunakan
jamur pelapuk putih juga dapat meningkatkan produksi etanol yang
dihasilkan. Setelah bagas diberi perlakuan L. edodes 4
minggu mampu menghasilkan etanol dengan hasil tertinggi 3,202 g/L.
minggu mampu menghasilkan etanol dengan hasil tertinggi 3,202 g/L.
Keywords: bagasse, bioethanol, hemicelluloses, SSF, xylanase, S. cerevisiae, Lentinus edodes
1. Pendahuluan
Pengembangan bioenergi seperti bioetanol dari biomassa sebagai
sumber bahan baku yang dapat diperbarui merupakan satu alternatif
yang memiliki nilai positif dari aspek sosial dan lingkungan [1,2].
Etanol yang mempunyai rumus kimia C2H5OH adalah zat organik
dalam kelompok alkohol dan banyak digunakan untuk berbagai
keperluan. Pada umumnya etanol diproduksi dengan cara fermentasi
dengan bantuan mikroorganisme oleh karenanya sering disebut
sebagai bioetanol. Satu diantara energi alternatif yang
relatif murah ditinjau aspek produksinya dan relatif ramah
lingkungan adalah pengembangan bioetanol dari
limbah-limbah pertanian (biomassa) yang mengandung
banyak lignocellulose seperti bagas (limbah padat industri
gula) atau tandan kosong kelapa sawit. Indonesia
memiliki potensi limbah biomassa yang sangat melimpah
seperti bagas. Industri gula khususnya di luar
jawa menghasilkan bagas yang cukup melimpah, seperti di PT.
Gunung Madu Plantantions, PT. Gula putih Mataran dan PT. Indo
Lampung di Propinsi Lampung. Selain itu keuntungan lain dari
pemanfaatan bioetanol adalah dapat digunakan mensubstitusi langsung
atau bahan campuran premium. Substitusi premium dengan
etanol sebagai bahan bakar transportasi secara tidak
langsung akan mengurangi emisi karbon dioksida. Hal
ini dimungkinkan karena dengan meningkatnya produksi bioetanol
akan mendorong penanaman tanaman sehingga emisi karbondioksida
yang dihasilkan akan terfiksasi melalui proses fotosintesis dari
tanaman penghasil biomas [3]. Teknologi proses produksi
etanol dalam proses hidrolisis biasanya dilakukan
dengan metode konvensional yaitu dengan menggunakan
asam sulfat (H2SO4) atau asam klorida (HCl). Namun metode ini
kurang ramah lingkungan karena penggunaan asam dalam proses
tersebut disamping biaya bahan kimia tersebut yang relatif mahal
asam juga dapat menimbulkan korosif.
Pengembangan teknologi bioproses dengan menggunakan enzim pada proses hidrolisisnya diyakini sebagai suatu proses yang lebih ramah lingkungan [4]. Pemanfaatan enzim sebagai zat penghidrolisis tergantung pada substrat yang menjadi prioritas, penelitian telah dilakukan untuk mengantikan asam yaitu menggunakan jamur pelapuk putih [5] untuk perlakuan awal kemudian dengan menggunakan enzim selulase untuk menghidrolisis selulosa menjadi glukosa, kemudian melakukan fermentasi dengan menggunakan S. cerivisiae untuk mengkonversi menjadi etanol. Namun, pemanfaatan enzim selulase dan yeast S. cerivisiae tidak mampu mengkonversi kandungan hemiselulosa pada bagas [6]. Padahal sekitar 20-25% komposisi karbohidrat bagas adalah hemiselulosa. Jika kita mampu mengkonversi hemiselulosa berarti akan meningkatkan konversi bagas menjadi etanol. Material berbasis lignoselulosa (lignocellulosic material) memiliki substrat yang cukup kompleks karena didalamnya terkadung lignin, polisakarida, zat ekstraktif, dan senyawa organik lainnya [7]. Bagian terpenting dan yang terbanyak dalam lignocellulosic material adalah polisakarida khususnya selulosa yang terbungkus oleh lignin dengan ikatan yang cukup kuat. Dalam kaitan konversi biomassa seperti bagas menjadi etanol, bagian yang terpenting adalah polisakarida. Karena polisakarida tersebut yang akan dihidrolisis menjadi monosakarida seperti glukosa, sukrosa, xilosa, arabinosa dan lain-lain sebelum dikonversi menjadi etanol. Proses hidrolisis umumnya digunakan pada industri etanol adalah menggunakan hidrolisis dengan asam (acid hydrolysis) dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) atau dengan menggunakan asam klorida (HCl) [8]. Proses hidrolisis dapat dilakukan dengan menggunakan enzim yang sering disebut dengan enzymatic hydrolysis yaitu hidrolisis dengan menggunakan enzim jenis selulase atau jenis yang lain. Keuntungan dari hidrolisis dengan enzim dapat mengurangi penggunaan asam sehingga dapat mengurangi efek negatif terhadap lingkungan. Kemudian setelah proses hidrolisis dilakukan fermentasi menggunakan yeast seperti S. cerevisiae untuk mengkonversi menjadi etanol. Proses hidrolisis dan fermentasi ini akan sangat efisien dan efektif jika dilaksanakan secara berkelanjutan tanpa melalui tenggang waktu yang lama, hal ini yang sering dikenal dengan istilah Simultaneous Sacharificatian dan Fermentation (SSF).
Pengembangan teknologi bioproses dengan menggunakan enzim pada proses hidrolisisnya diyakini sebagai suatu proses yang lebih ramah lingkungan [4]. Pemanfaatan enzim sebagai zat penghidrolisis tergantung pada substrat yang menjadi prioritas, penelitian telah dilakukan untuk mengantikan asam yaitu menggunakan jamur pelapuk putih [5] untuk perlakuan awal kemudian dengan menggunakan enzim selulase untuk menghidrolisis selulosa menjadi glukosa, kemudian melakukan fermentasi dengan menggunakan S. cerivisiae untuk mengkonversi menjadi etanol. Namun, pemanfaatan enzim selulase dan yeast S. cerivisiae tidak mampu mengkonversi kandungan hemiselulosa pada bagas [6]. Padahal sekitar 20-25% komposisi karbohidrat bagas adalah hemiselulosa. Jika kita mampu mengkonversi hemiselulosa berarti akan meningkatkan konversi bagas menjadi etanol. Material berbasis lignoselulosa (lignocellulosic material) memiliki substrat yang cukup kompleks karena didalamnya terkadung lignin, polisakarida, zat ekstraktif, dan senyawa organik lainnya [7]. Bagian terpenting dan yang terbanyak dalam lignocellulosic material adalah polisakarida khususnya selulosa yang terbungkus oleh lignin dengan ikatan yang cukup kuat. Dalam kaitan konversi biomassa seperti bagas menjadi etanol, bagian yang terpenting adalah polisakarida. Karena polisakarida tersebut yang akan dihidrolisis menjadi monosakarida seperti glukosa, sukrosa, xilosa, arabinosa dan lain-lain sebelum dikonversi menjadi etanol. Proses hidrolisis umumnya digunakan pada industri etanol adalah menggunakan hidrolisis dengan asam (acid hydrolysis) dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) atau dengan menggunakan asam klorida (HCl) [8]. Proses hidrolisis dapat dilakukan dengan menggunakan enzim yang sering disebut dengan enzymatic hydrolysis yaitu hidrolisis dengan menggunakan enzim jenis selulase atau jenis yang lain. Keuntungan dari hidrolisis dengan enzim dapat mengurangi penggunaan asam sehingga dapat mengurangi efek negatif terhadap lingkungan. Kemudian setelah proses hidrolisis dilakukan fermentasi menggunakan yeast seperti S. cerevisiae untuk mengkonversi menjadi etanol. Proses hidrolisis dan fermentasi ini akan sangat efisien dan efektif jika dilaksanakan secara berkelanjutan tanpa melalui tenggang waktu yang lama, hal ini yang sering dikenal dengan istilah Simultaneous Sacharificatian dan Fermentation (SSF).
SSF pertama kali dikenalkan oleh Takagi et
al, 1977, yaitu kombinasi antara hidrolisis menggunakan
enzim selulase dan yeast S. cerevisiae untuk fermentasi
gula menjadi etanol secara simultan. Proses SSF
sebenarnya hampir sama dengan dengan proses yang terpisah
antara hidrolisis dengan enzim dan proses fermentasi,
hanya dalam proses SSF hidrolisis dan fermentasi
dilakukan dalam satu reaktor. Secara singkat reaksi yang
terjadi melalui proses Simultaneous Sacharificatian
dan Fermentation (SSF). Keuntungan dari proses ini adalah
polisakarida yang terkonversi menjadi monosakarida tidak
kembali menjadi poliskarida karena monosakarida
langsung difermentasi menjadi etanol. Selain itu
dengan menggunakan satu reaktor dalam prosesnya
akan mengurangi biaya peralatan yang digunakan.
2. Metode Penelitian
Persiapan sampel Bagas dihaluskan (kurang lebih 30-60 mesh) sehingga ukuran partikel lebih seragam, kemudian dikeringkan dengan oven selama 1 jam pada suhu 60-70 oC sehingga kadar air maksimal 10 % dan disimpan di tempat yang kering.
Persiapan sampel Bagas dihaluskan (kurang lebih 30-60 mesh) sehingga ukuran partikel lebih seragam, kemudian dikeringkan dengan oven selama 1 jam pada suhu 60-70 oC sehingga kadar air maksimal 10 % dan disimpan di tempat yang kering.
Enzim
Enzim komersial dipakai dalam hidrolisis yaitu enzim xylanase digunakan sebagai enzim pada proses hidrolisis dalam SSF. Stock pembiakan Saccharomyces Cerevisiae Saccharomyces Cerevisiae di-preculture pada Potato Dextrose Agar (PDA) 2%, Agar (0,25 g), H2O (50ml) dan diinkubasi selama 1-3 hari pada suhu 28 oC, kemudian digunakan sebagai yeast pada proses SSF. Persiapan yeast inoculum
Saccharomyces Cerevisiae dari stock di-preculture pada 50 ml medium (glukosa, 10 g l-1; yeast extract, 1,0 g l-1; KH2PO4, 0,1 g l-1; MgSO4.7H2O, 0,1 g l-1; dan (NH4)2SO4, 0,1 g l-1) dalam 200 ml flask, kemudian diinkubasi pada suhu 30 oC selama 24 jam menggunakan orbital shaker dengan kecepatan 100 rpm. Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak Medium untuk SSF sebanyak 5 ml terdiri dari sampel bagas (0,25 g), nutrients medium (2,5 ml), 0,05 M Nacitrate buffer (pH 5.0), selulase/xylanase (10 FPU), dan 10% (v/v) yeast inoculum. Sampel, nutrients medium dan buffer disterilisasi selama 121 oC dan 20 min pada autoclave, namun larutan enzim ditambahkan tanpa sterilisasi. Nutrients medium teridiri dari 1,0 g l-1 (NH4)2PO4; 0,05 g l-1 MgSO4.7H2O dan 2 g l-1 yeast extract. Kultivasi \ diambil dan dimasukan dalam test tube sebanyak 5.0 ml kemudian disentrifugasi menggunakan orbital shaker pada kecepatan 100 rpm selama 96 jam pada suhu 35 oC.
Enzim komersial dipakai dalam hidrolisis yaitu enzim xylanase digunakan sebagai enzim pada proses hidrolisis dalam SSF. Stock pembiakan Saccharomyces Cerevisiae Saccharomyces Cerevisiae di-preculture pada Potato Dextrose Agar (PDA) 2%, Agar (0,25 g), H2O (50ml) dan diinkubasi selama 1-3 hari pada suhu 28 oC, kemudian digunakan sebagai yeast pada proses SSF. Persiapan yeast inoculum
Saccharomyces Cerevisiae dari stock di-preculture pada 50 ml medium (glukosa, 10 g l-1; yeast extract, 1,0 g l-1; KH2PO4, 0,1 g l-1; MgSO4.7H2O, 0,1 g l-1; dan (NH4)2SO4, 0,1 g l-1) dalam 200 ml flask, kemudian diinkubasi pada suhu 30 oC selama 24 jam menggunakan orbital shaker dengan kecepatan 100 rpm. Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak Medium untuk SSF sebanyak 5 ml terdiri dari sampel bagas (0,25 g), nutrients medium (2,5 ml), 0,05 M Nacitrate buffer (pH 5.0), selulase/xylanase (10 FPU), dan 10% (v/v) yeast inoculum. Sampel, nutrients medium dan buffer disterilisasi selama 121 oC dan 20 min pada autoclave, namun larutan enzim ditambahkan tanpa sterilisasi. Nutrients medium teridiri dari 1,0 g l-1 (NH4)2PO4; 0,05 g l-1 MgSO4.7H2O dan 2 g l-1 yeast extract. Kultivasi \ diambil dan dimasukan dalam test tube sebanyak 5.0 ml kemudian disentrifugasi menggunakan orbital shaker pada kecepatan 100 rpm selama 96 jam pada suhu 35 oC.
Cairan bersih sampel diambil dengan sampling 24, 48, 72 dan 96
jam dan diuji etanol yang dihasilkan. Analisis lignin,
holoselulosa dan α-selulosa Lignin dianalisis dengan metode klason
lignin yangtermodifikasi yaitu dengan menambahkan asam sulfat 72%
pada sampel dan diaduk sampai hancur, diautoclave pada suhu 121 oC
selama 30 menit, disaring dengan kertas saring, dibungkus dengan
alumunium voil, di-oven selama 1 jam dan ditimbang
berat akhirnya. Analisis holoselulosa dan α-selulosa
dianalisis dengan metode wise yaitu sampel dicampur
dengan natrium klorat, asam asetat dan aquades,
diinkubasi dengan menggunakan air panas pada suhu 80
oC, didinginkan, difiltrasi dengan aquades dan
terakhir dibilas dengan aseton. Kemudian bagian
padat dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1-2 malam
dan ditimbang beratnya. Penentuan Konsentrasi
Etanol Konsentrasi etanol ditentukan dengan Gas
Kromatografi (GC) jenis SUPELCOWAX-10 (Supelco Inc., 0,53
mm i.d., 15 m, 0,5 mm, FID) pada temperature 50 oC. Sebelum
sampel diinjeksi kedalam GC terlebih dahulu mengukur larutan
standar yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan konsentrasi
etanol.
3. Hasil dan Pembahasan
Analisis Lignin Pada Bagas
Bagas sebagai biomassa sebagian besar tersusun dari polisakarida dan senyawa berbasis fenol terutama selulosa, lignin dan sedikit senyawa yang mudah larut atau sering dikenal sebagai senyawa abu. Hasil analisis menunjukan bahwa kandungan lignin pada bagas berkisar 24% dari total bagas. Kemudian kandungan holoselulosa pada bagas sekitar 70% dan kandungan α- selulosa berkisar 50%. Kandungan hemiselulosa adalah holoselulosa dikurangi α-selulosa yang berarti kandungan hemiselulosa pada bagas yaitu sebanyak 20%. Hasil Analisis lignin, holoselulosa dan α-selulosa. Pada penelitian sebelumnya [9] kandungan lignin pada lignoselulosic material secara umum termasuk bagas dapat dikurangi dengan perlakuan dengan jamur pelapuk putih. Beberapa jamur pelapuk putih yang sering digunakan untuk biodegradasi lignin diantaranya Pleurotus ostreatus, Phanerochaete sordila Pycnoporus cinnabarinus, Sporotricum pulverulentum, Cyathus strecoreus, Pleurotus chrysosporium, Ceriperiopsis subvermispora, Lentinus edodes, Pleurotus eryngi dan Corolus versicolor dan lain-lain. Jamur C. subvermispora dan L. edodes merupakan jamur yang cukup efektif dalam mendegradasi lignin dan juga mampu meningkatkan produksi etanol dari kayu [6].
Bagas sebagai biomassa sebagian besar tersusun dari polisakarida dan senyawa berbasis fenol terutama selulosa, lignin dan sedikit senyawa yang mudah larut atau sering dikenal sebagai senyawa abu. Hasil analisis menunjukan bahwa kandungan lignin pada bagas berkisar 24% dari total bagas. Kemudian kandungan holoselulosa pada bagas sekitar 70% dan kandungan α- selulosa berkisar 50%. Kandungan hemiselulosa adalah holoselulosa dikurangi α-selulosa yang berarti kandungan hemiselulosa pada bagas yaitu sebanyak 20%. Hasil Analisis lignin, holoselulosa dan α-selulosa. Pada penelitian sebelumnya [9] kandungan lignin pada lignoselulosic material secara umum termasuk bagas dapat dikurangi dengan perlakuan dengan jamur pelapuk putih. Beberapa jamur pelapuk putih yang sering digunakan untuk biodegradasi lignin diantaranya Pleurotus ostreatus, Phanerochaete sordila Pycnoporus cinnabarinus, Sporotricum pulverulentum, Cyathus strecoreus, Pleurotus chrysosporium, Ceriperiopsis subvermispora, Lentinus edodes, Pleurotus eryngi dan Corolus versicolor dan lain-lain. Jamur C. subvermispora dan L. edodes merupakan jamur yang cukup efektif dalam mendegradasi lignin dan juga mampu meningkatkan produksi etanol dari kayu [6].
Pada penelitian ini digunakan sampel bagas
yang telah diberi perlakuan dengan L. edodes selama 4
minggu karena jamur tersebut cukup efektif dalam mendegradasi
lignin [5]. Hal ini cukup penting karena lignin yang terdapat pada
bagas dapat menghalangi atau memperlambat akses enzim dalam
memecah polisakarida pada proses hidrolisis sehingga
dapat meningkatkan etanol yang dihasilkan dalam
proses fermentasinya [10]. Kemampuan jamur pelapuk putih untuk
proses biodegradasi lignin disebabkan jamur ini mampu menghasilkan
enzim-enzim seperti lignin peroxidase (LiP), manganese-dependent
peroxidase (MnP), dan laccase [11]. Enzim-enzim ini
mampu mengoksidasi senyawa-senyawa fenolik yang terdapat pada
lignin sehingga ikatannya akan rusak. Semakin banyak lignin yang
terdegradasi maka hidrolisis akan semakin sempurna sehingga proses
fermentasi untuk mengkonversi menjadi etanol akan optimal. Pada
bagas yang telah diberi perlakuan dengan L. edodes selama
4 minggu terjadi penurunan berat lignin, holoselulosa
dan α-selulosa. Hal ini terjadi karena bagas menjadi
media tumbuh jamur dan sumber makanan untuk tumbuh
dan berkembangnya jamur tersebut Produksi Etanol dengan Proses
SSF Secara umum sintesis bioetanol yang berasal dari biomassa
terdiri dari dua tahap utama, yaitu hidrolisis dan fermentasi.
Pada metode terdahulu proses hidrolisis dan fermentasi dilakukan
secara terpisah atau Separated Hydrolisys and Fermentation (SHF)
dan yang terbaru adalah proses Simultaneous Saccharification
and Fermentation (SSF) atau Sakarifikasi dan
Fermentasi Serentak (SFS). Satu diantara beberapa keuntungan
dari proses SSF adalah hidrolisis dan fermentasi
dilakukan dalam satu wadah atau reaktor sehingga
dapat berlangsung secara efisien.
Hidrolisis bertujuan
untuk memecah polisakarida menjadi monosakarida sehingga dapat
langsung difermentasi oleh yeast. Pada penelitian ini hidrolisis
dilakukan secara biologis, yaitu menggunakan enzim. Enzim merupakan
protein yang bersifat katalis, sehingga sering disebut
biokatalis. Enzim memiliki kemampuan mengaktifkan senyawa lain
secara spesifik dan dapat meningkatkan kecepatan reaksi kimia yang
akan berlangsung lama apabila tidak menggunakan enzim. Enzim yang
digunakan harus sesuai dengan polisakarida yang akan
dihidrolisis. Berdasarkan data analisis pada sub-bab
sebelumnya, ternyata kandungan hemiselulosa pada bagas sebesar
± 17,5 %. Hemiselulosa terbentuk dari polisakarida
jenis pentosa dengan kandungan paling banyak adalah xylosa.
Oleh karena itu digunakan enzim xylanase untuk memecah
monomer-monomer xylan pada hemiselulosa menjadi xylosa. Setelah
polisakarida dipecah menjadi monosakarida, maka oleh yeast akan
difermentasi menjadi etanol. Monosakarida yang terbentuk akan
diubah oleh yeast menjadi alkohol dan karbondioksida (CO2).
Pada penelitian ini dilakukan perlakuan yang
berbeda agar hasil yang diperoleh dapat dibandingkan satu
sama lain. Perlakuan tersebut antara lain kondisi
derajat keasaman (pH) yang berlainan dan penambahan
asam dengan konsentrasi rendah serta menggunakan sampel yang
sudah diberi perlakuan dengan jamur pelapuk putih. Kondisi pH pada
proses ini dikontrol dengan menambahkan Na-citrate buffer. Variasi
pH setiap proses SSF ditambahkan Na-citrate buffer dengan
pH masing-masing sebesar 4, 4,5 dan 5. Sedangkan untuk variasi
penambahan asam yang digunakan pada proses ini adalah asam klorida
(HCl) dengan konsentrasi 0,5 % dan 1 %. Pada variasi penambahan
asam dan perlakuan jamur pelapuk putih pH dikondisikan sebesar 5.
Proses ini diinkubasi dan dishaker selama 96 jam,
dimana setiap 24 jam akan disampling untuk
dianalisis konsentrasi etanol yang telah terbentuk. Sehingga
dapat ditentukan waktu optimum untuk proses SSF. Pengaruh
Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) merupakan satu
diantara beberapa faktor penting yang mampu
mempengaruhi proses pada fermentasi etanol. Derajat
keasaman optimum untuk proses fermentasi adalah antara
4-5. Pada pH dibawah 3, proses fermentasi akan
berkurang kecepatannya. Pada penelitian ini divariasikan
kondisi pH pada proses SSF yaitu sebesar 4, 4,5 dan 5.
Derajat keasaman yang diinginkan diperoleh dengan menambahkan
Na-citrate buffer, penambahan buffer disini dimaksudkan agar
kondisi pH sesuai dengan besaran yang diinginkan. H paling tinggi dihasilkan pada proses dengan pH 5 yaitu sebesar
2,357 g/L pada 24 jam pertama sampai 2,639 g/L pada jam ke-96
sedangkan untuk pH 4 menghasilkan konsentrasi etanol paling sedikit
yaitu sebesar 2,028 g/L sampai 2,287 g/L.
Maka terbukti bahwa
yeast dapat berkembang dengan baik pada pH 5, oleh karena itu
konsentrasi etanol yang dihasilkan lebihtinggi [12]. Sedangkan untuk
hasil etanol per massa substrat untuk pH 4 sebesar 3,5 – 4,1 % , pH
4,5 sebesar 3,8 – 4,3 %, dan pH 5 sebesar 4,1 – 4,7 %.
Jika kandungan hemiselulosa pada bagas sebesar 20%, maka yield
etanol yang dihasilkan akan berkisar antara 17,5 - 23,5
%. Jika dilihat dari waktu inkubasinya, setelah melewati jam
ke-48 konsentrasi etanol yang dihasilkan cenderung konstan. Hal ini
terjadi pada semua variasi pada penelitian ini, sehingga dapat
dikatakan bahwa waktu optimum dari kinerja yeast dan enzim adalah
48 jam. Kenaikan pH masih bisa terjadi karena fermentasi
tidak hanya menghasilkan etanol tetapi juga
menghasilkan senyawa-senyawa lain seperti asam asetat,
asam levulinat dan asam formiat [13]. Asam asetat
dapat dihasilkan oleh kontaminan bakteri yang hidup
bersama ragi yaitu acetobacter. Lactobasilus juga dapat
ikut mengkontaminasi dan mengubah glukosa menjadi asam laktat
sehingga mengurangi yield etanol dan menghambat pertumbuhan
yeast.
Pengaruh Penambahan Asam Konsentrasi Rendah Penambahan
asam konsentrasi rendah dalam proses SSF bertujuan untuk
menghidrolisis lignin, selulosa dan hemiselulosa yang tidak
terhidrolisis oleh enzim xylanase sehingga hidrolisis yang terjadi
lebih optimal maka diharapkan konversi etanol yang dihasilkan
lebih besar. Proses hidrolisis asam dengan konsentrasi
rendah pada umumnya dilakukan pada tekanan dan suhu
tinggi, namun dalam proses ini penambahan asam dan
enzim dilakukan secara bersamaan, sehingga suhu yang digunakan
dalam proses ini merupakan suhu kamar ± 25 °C. Karena jika suhu
tinggi maka enzim tidak dapat bekerja atau rusak. Variasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah HCl dengan konsentrasi 0,5 %
dan 1 % ditambahkan sebanyak 20 % dari volume total proses
SSF. Selain hidrolisis yang telah dilakukan oleh enzim xylanase
diharapkan penambahan HCl konsentrasi rendah ini dapat
menghidrolisis polisakarida yang tidak mampu dipecah oleh enzim.
Dari data dengan variasi pH didapat pH optimum sebesar 5,
maka pada variasi ini digunakan pH sebesar 5. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa proses SSF yang diberi penambahan asam,
konsentrasi etanol akan meningkat sesuai dengan meningkatnya
kandungan HCl yang ada. Pada kondisi tertentu pentosa yang
terbentuk dapat diubah menjadi furfural yang dapat menghalangi
proses fermentasi oleh yeast. Namun kondisi yang baik
untuk terjadinya reaksi lanjutan setelah pentosa terbentuk
pada temperatur tinggi (120-180 °C). Dengan penambahan HCl 1 %
menghasilkan konsentrasi etanol tertinggi, yaitu mulai dari 2,756
g/L pada jam ke-24 hingga 3,249 g/L setelah 72 jam inkubasi
Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan asam, maka polisakarida
yang terhidrolisis lebih banyak daripada yang tidak dengan
penambahan asam sehingga etanol yang dihasilkan juga
lebih banyak.
Enzim xylanase hanya akan
menghidrolisis polisakarida dengan ikatan pentosa, yaitu xylan
menjadi xylosa. Sedangkan dengan penambahan HCl maka akan ada
sedikit selulosa yang terhidrolisis menjadi glukosa, sehingga
monosakarida yang difermentasi oleh yeast juga lebih banyak. Pada
penambahan HCl dengan konsentrasi 0,5 %, konsentrasi etanol yang
dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan penambahan HCl 1
% yaitu 2,662 g/L pada jam ke-24 hingga 2,944 g/L, namun lebih
tinggi konsentrasinya dibandingkan fermentasi tanpa penambahan HCl
yaitu 2,375 g/L hingga 2,709 g/L. hasil etanol per massa substrat
untuk penambahan HCl 0,5 % sebesar 4,6 – 5,1 %,
untuk penambahan HCl 1 % sebesar 4,8 – 5,6 %, dan tanpa HCl
sebesar 4,1 – 4,7 %. Dengan kandungan hemiselulosa pada bagas
sebesar 20%, maka yield etanol yang dihasilkan akan berkisar antara
20 – 28 %. Jika dilihat dari perubahan konsentrasi etanol
terhadap waktu, terdapat kecenderungan bahwa kadar etanol
akan terus meningkat hingga jam ke-72. Tetapi setelah
jam ke-96 konsentrasi etanol cenderung konstan, bahkan
ada yang menurun yaitu untuk variasi tanpa penambahan HCl. Hal
ini kemungkinan disebabkan oleh volume larutan yang mempengaruhi
kinerja ragi setelah waktu inkubasi memasuki jam ke-48. Namun ada
juga kemungkinan glukosa maupun pentosa yang
telah terhidrolisis telah habis terfermentasi oleh yeast
karena sudah tidak ada lagi monosakarida yang dihasilkan
dari hirolisis polisakarida. Hal ini bisa disebabkan oleh
inhibitor-inhibitor yang ada dalam biomassa antara lain lignin,
asam lemah, turunan senyawa fenolik [14].
Pengaruh Perlakuan Jamur Pelapuk Putih
Produksi etanol pada bagas dengan proses Simultaneous Sacharification dan Fermentation (SSF) setelah dilakukan perlakuan dengan jamur pelapuk putih mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Peningkatan ini salah satunya disebabkan kemampuan jamur pelapuk putih mampu membongkar rantai lignin yang cukup kompleks yang dapat menghalangi atau memperlambat akses enzim pada proses hidrolisis sehingga dapat meningkatkan etanol yang dihasilkan dalam proses fermentasinya [10]. Hasil analisis menunjukan bahwa kandungan lignin pada bagas berkisar 24,2 % dari total bagas. Kemudian kandungan holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) pada bagas sekitar 70,2% dan kandungan α-selulosa berkisar 52,7 %, maka kandungan hemiselulosa pada bagas sekitar 17,5 %. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumya bahwa setelah dilakuan perlakuan dengan L. edodes terjadi penurunan berat bagas. Kehilangan berat selama perlakuan ini terjadi pada lignin atau holoselulosanya. Perlakuan dengan jamur pelapuk putih dikatakan efektif atau memiliki selektifitas yang baik jika jamur tersebut mampu mendegradasi lignin lebih besar dari pada degradasi pada selulosanya, yang ditandai dengan terjadi kehilangan berat lignin lebih besar dibandingkan dengan kehilangan berat selulosanya [15].
Produksi etanol pada bagas dengan proses Simultaneous Sacharification dan Fermentation (SSF) setelah dilakukan perlakuan dengan jamur pelapuk putih mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Peningkatan ini salah satunya disebabkan kemampuan jamur pelapuk putih mampu membongkar rantai lignin yang cukup kompleks yang dapat menghalangi atau memperlambat akses enzim pada proses hidrolisis sehingga dapat meningkatkan etanol yang dihasilkan dalam proses fermentasinya [10]. Hasil analisis menunjukan bahwa kandungan lignin pada bagas berkisar 24,2 % dari total bagas. Kemudian kandungan holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) pada bagas sekitar 70,2% dan kandungan α-selulosa berkisar 52,7 %, maka kandungan hemiselulosa pada bagas sekitar 17,5 %. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumya bahwa setelah dilakuan perlakuan dengan L. edodes terjadi penurunan berat bagas. Kehilangan berat selama perlakuan ini terjadi pada lignin atau holoselulosanya. Perlakuan dengan jamur pelapuk putih dikatakan efektif atau memiliki selektifitas yang baik jika jamur tersebut mampu mendegradasi lignin lebih besar dari pada degradasi pada selulosanya, yang ditandai dengan terjadi kehilangan berat lignin lebih besar dibandingkan dengan kehilangan berat selulosanya [15].
Setelah mendapat perlakuan
jamur Lentinus edodes selama 4 minggu, komposisi
bagas mengalami penurunan. Penurunan komposisi lignin sebesar
9,9 %, holoselulosa sebesar 7,8 % dan α- selulosa sebesar 6,1
%. dikatakan bahwa jamur pelapuk putih dapat mendegradasi
ikatan lignin lebih besar daripada selulosa dan hemiselulosa. Maka
dalam hal ini jamur L. edodes mempunyai selektifitas dalam
proses mendegradasi lignin pada bagas. Selain itu,
persentase kehilangan kandungan selulosa cukup besar
selama perlakuan 4 minggu. Hal ini disebabkan karena
semakin lama perlakuan, maka kebutuhan makanan dari jamur juga
akan semakin besar. Hasil ini juga menunjukan bahwa jamur Lentinus
edodes mempunyai kemampuan selektivitas yang tidak terlalu besar
selama perlakuan 4 minggu, karena cukup banyak selulosa
yang terdegradasi. Degradasi lignin oleh jamur L. edodes dapat
terjadi selama berlangsungnya proses metabolisme sekunder dan pada
kondisi dimana jamur kekurangan nitrogen [16].
Kemampuan degradasi jamur pelapuk putih dan komponen kimia yang didegradasinya sangat bergantung pada jenis jamur dan enzim lignolitik yang dapat dihasilkannya. Jamur pelapuk putih pada umumnya mengeluarkan enzim lignolitik seperti Lignin Peroksida (LiP), Mangan Peroksida (MnP), Versatil Peroksida (VP), Laccase, Glyoxal Oxidase (Glox), Aryl Alcohol Oxidase (AAO), dan hidrogen peroksida lainnya [16].
Kemampuan degradasi jamur pelapuk putih dan komponen kimia yang didegradasinya sangat bergantung pada jenis jamur dan enzim lignolitik yang dapat dihasilkannya. Jamur pelapuk putih pada umumnya mengeluarkan enzim lignolitik seperti Lignin Peroksida (LiP), Mangan Peroksida (MnP), Versatil Peroksida (VP), Laccase, Glyoxal Oxidase (Glox), Aryl Alcohol Oxidase (AAO), dan hidrogen peroksida lainnya [16].
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Produksi etanol melalui proses SSF
tertinggi adalah pada kondisi derajat keasaman (pH) sebesar
5 dengan menghasilkan konsentrasi etanol sebesar 2,709 g/L
atau 4,7 % per massa bagas dibandingkan
dengan pH 4 sebesar 2,357 g/L atau 4,1 % per massa bagas dan pH 4,5 sebesar 2,451 g/L atau 4,3 % per massa bagas.
dengan pH 4 sebesar 2,357 g/L atau 4,1 % per massa bagas dan pH 4,5 sebesar 2,451 g/L atau 4,3 % per massa bagas.
2. Penambahan asam berkonsentrasi rendah
mampu meningkatkan produksi etanol yang dihasilkan melalui
proses SSF. Peningkatan tertinggi dengan penambahan asam klorida
(HCl) konsentrasi 1% (v/v) yang menghasilkan etanol sebesar 3,249
g/L atau 5,6 % per massa bagas dibandingkan dengan penambahan
0,5 % sebesar 2,967 g/L atau 5,2 % per massa bagas dan tanpa
penambahan asam sebesar 2,709 g/L atau 4,7 % per massa bagas.
3. Perlakuan jamur pelapuk putih, Lentinus
edodes, mampu meningkatkan produksi etanol dari bagas dengan
proses SSF. Konsentrasi etanol yang dihasilkan sebesar 3,202 g/L
atau 5,6 % per massa bagas dibandingkan tanpa perlakuan sebesar
2,709 g/L atau 4,7 % per massa bagas.
4. Enzim xylanase mampu
menghidrolisis hemiselulosa pada bagas, karena
tanpa menggunakan enzim tidak ada etanol yang dapat
di hasilkan.
Ucapan Terima Kasih Penelitian
ini didukung oleh dana penelitian Riset Unggulan Universitas
Indonesia 2006-2007 yang merupakan program Direktorat Riset dan
Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.
Daftar Acuan
[1] Lynd, L.R., Bothast, R.J., Wyman, D.E. 1991. Fuel etanol from cellulosic biomass. Science 251: 1318-
1323.
[1] Lynd, L.R., Bothast, R.J., Wyman, D.E. 1991. Fuel etanol from cellulosic biomass. Science 251: 1318-
1323.
[2] Wyman, C.E., 1994. Etanol from ligcellulosic biomass: Technology, economics, and opportunities. Biores. Technol. 50, 3-6.
[3] Millan, J.D. 1997. Bioetanol production: status dan
prospects. Renewable Eng. 10, 295-302.
[4] Pandey,A. Soccol,C.R. Nigam,P. And Soccol,V.T.
2000. Biotechnological potential of agro-indistrial
residues. Sugarcane bagasse. Bioresour Technol. 74: 69-80
residues. Sugarcane bagasse. Bioresour Technol. 74: 69-80
[5] Samsuri, M. “Pengaruh Perlakuan Jamur Pelapuk
Putih dan Steaming pada Produksi Ethanol dari
Bagas melalui proses Sakarifikasi dan Fermentasi
secara Serentak (SSF).” Tesis, Program Pasca
Sarjana Fakultas Teknik UI, Depok, 2006.
[6] Itoh. H., Wada. M., Honda. Y., Kuwahara. M.,
Watanabe. T., 2003. Bioorganosolve pretreatments
for simultaneous saccharification dan fermentation
of beech wood by etanolysis dan white rot fungi. J.
Biotechnol. 103, 273-280
[7] Castello, R., dan Chum, H. (1998). Biomass,
bioenergi dan carbon management. In “Bioenergi
’98: Expdaning Bioenergi Partnerships” (D.
Wichert, ed.). pp. 11-17.
[8] Lee, S. S., J. K. Ha, H. S. Kang, T. McAllister, and
K.-J. Cheng. 1997. Overview of energy
metabolism, substrate utilization and fermentation
characteristics of ruminal anaerobic fungi. Korean
J. Anim. Nutr. Feedstuffs 21:295–314.
[9] Samsuri, M., Hermiati, E., Prasetya, B., Honda, Y.,
Watanabe, T., 2005 Efects of fungal treatment on
ethanol production from bagas using Simultaneous
Sacharificatin and Fermentation. Preceeding of
fifth international wood science seminar, 29-31
Agustus 2005.
[10] Sun, Y., Cheng, J. 2002. Hydrolysis of
lignocellulosic materials for etanol production:
review. Biores. Technol 83, 1-11.
[11] Ramos J, Rojas T, at. All. 2004. Enzymatic and
fungal treatments on Sugarcane bagas for the
production mechanical pulp. J. Aric. Food Chem
52, 5057-5062
[12] Frazier, W. C. And Westhoff D. C. (1978). Food
Microbiology. 3rd Edition. Hill Publishing Co.
New York.
[13] Palmqvist, E. 1998. Fermentation of
lignocellulosic hydrolysates: inhibation and
detoxification. Doctoral thesis, Lund University,
Lund, Sweden.
[14] Cantarella, M., Cantarella, L., Gallifuoco, A.,
Spera, A., Alfani, F., (2004). Comparison of
different detoxification methods for steamexplodedpoplar wood as a substrat for the
bioproduction of etanol in SHF dan SSF. Process
biochem. 39, 1533-1542.
[15] Blanchette, R.A., Burnes, T.A., Eerdmans, M.M.,
Akhtar, M., 1992. Evaluating Isolates Of
Phanerochaete Chrysosporium And Ceriporiopsis
Subvermispora For Use In Biological Pulping
Process. Holzforschung 46, 105-115.
[16] Hatakka, A. (2001) Biodegradation of lignin. In
M. Hofrichter and A. Steinbüchel (eds.),
Biopolymers, vol. 1. Wiley-VCH, Weinheim,
Germany. p. 129-180.
[17] Nagai, M., Sato, T., Watanabe, H., Saito, K.,
Kawata, M. and Enei, H. (2002) Purification and
characterization of an extracellular laccase from
the edible mushroom Lentinula edodes, and
decolorization of chemically different dyes. Appl.
Microbiol. Biotechnol. 60: 327-335.Pan, X., Arato,
C., Gilkes, N., Gregg, D., Mabee, W., Pye, K.,
Xiao, Z., Zhang, X., Saddler, J., 2004.
Biorefiningof softwoods using etanol organosolv
pulping: Preliminary evaluation of process streams
for manufacture of fuel-grade etanol and coproducts.
Biotechnol. Bioeng. 90, 473-481.
[18] Hofrichter, M. (2002) Review: Lignin conversion
by manganese peroxidase (MnP). Enzyme Microb.
Technol. 30:454-466.
Technol. 30:454-466.
[19] Reinhammar B.1984. Laccase. In: Lontie R. (Ed.).
Copper proteins and copper enzymes, Vol. III.
Boca Raton, FL: CRC Press, Boca Raton. Pp. 1- 35.
Boca Raton, FL: CRC Press, Boca Raton. Pp. 1- 35.
[20] Thurston CF. 1994. The Structure and functin of
fungal laccases. Microbiology 14, pp. 19-26.
[21] Bourbonnais R, and Paice M. 1990. Oxidation of
non-phenolic substrates. An expanded role of
laccases in lignin biodegration. FEBS lett. 267, pp. 99-102.
laccases in lignin biodegration. FEBS lett. 267, pp. 99-102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar