M. Samsuri1,2, M. Gozan1, R. Mardias, M. Baiquni, H. Hermansyah1, A. Wijanarko1, B. Prasetya2, dan M. Nasikin1
1. Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Bogor 16911, Indonesia E-mail: mgozan@che.ui.edu




Abstrak
Bagas merupakan residu padat pada proses pengolahan tebu menjadi gula, yang sejauh ini masih belum banyak dimanfaatkan menjadi produk yang mempunyai nilai tambah (added value). Bagas yang termasuk biomassa mengandung lignoselulosa sangat dimungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi sumber energi alternatif seperti bioetanol atau biogas. Dengan pemanfaatan sumber daya alam terbarukan dapat mengatasi krisis energi terutama sektor migas. Pada penelitian ini telah dilakukan konversi bagas menjadi etanol dengan menggunakan enzim xylanase. Perlakuan dengan enzim lainnya saat ini sedang dikerjakan di laboratorium kami mengingat hemisulosa juga mengandung polisakarida lainnya yang dapat didekomposisi oleh berbagai enzim. Hasil penelitian menunjukkan kandungan lignoselulosa pada bagas sebesar lebih kurang 52,7% selulosa, 20% hemiselulosa, dan 24,2% lignin. Hemiselulosa merupakan polisakarida yang dapat dihidrolisis oleh enzim xylanase dan kemudian akan difermentasikan oleh yeast S. cerevisiae menjadi etanol melalui proses Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak (SSF). Beberapa parameter yang dianalisis pada penelitian ini antara lain kondisi pH (4, 4,5, dan 5), untuk meningkatkan kuantitas etanol dilakukan penambahan HCl berkonsentrasi rendah (0,5% dan 1% (v/v)) dan bagas dengan perlakuan jamur pelapuk putih (L. edodes) selama 4 minggu. Proses SSF dilakukan dengan waktu inkubasi selama 24, 48, 72, dan 96 jam. Perlakuan dengan pH 4, 4,5, dan 5 menghasilkan konsentrasi etanol tertinggi berturut-turut 2,357 g/L, 2,451 g/L, 2,709 g/L. Perlakuan penambahan HCl konsentrasi rendah mampu meningkatkan produksi etanol, penambahan dengan konsentrasi HCL 0,5 % dan 1 % berturut-turut menghasilkan etanol 2,967 g/L, 3,249 g/L. Perlakuan dengan menggunakan jamur pelapuk putih juga dapat meningkatkan produksi etanol yang dihasilkan. Setelah bagas diberi perlakuan L. edodes 4
minggu mampu menghasilkan etanol dengan hasil tertinggi 3,202 g/L.
Keywords: bagasse, bioethanol, hemicelluloses, SSF, xylanase, S. cerevisiae, Lentinus edodes

1. Pendahuluan
    Pengembangan bioenergi seperti bioetanol dari biomassa sebagai sumber bahan baku yang dapat diperbarui merupakan satu alternatif yang memiliki nilai positif dari aspek sosial dan lingkungan [1,2]. Etanol yang mempunyai rumus kimia C2H5OH adalah zat organik dalam kelompok alkohol dan banyak digunakan untuk berbagai keperluan. Pada umumnya etanol diproduksi dengan cara fermentasi dengan bantuan mikroorganisme oleh karenanya sering disebut sebagai bioetanol. Satu diantara energi alternatif yang relatif murah ditinjau aspek produksinya dan relatif ramah lingkungan adalah pengembangan bioetanol dari limbah-limbah pertanian (biomassa) yang mengandung banyak lignocellulose seperti bagas (limbah padat industri gula) atau tandan kosong kelapa sawit. Indonesia memiliki potensi limbah biomassa yang sangat melimpah seperti bagas. Industri gula khususnya di luar jawa menghasilkan bagas yang cukup melimpah, seperti di PT. Gunung Madu Plantantions, PT. Gula putih Mataran dan PT. Indo Lampung di Propinsi Lampung. Selain itu keuntungan lain dari pemanfaatan bioetanol adalah dapat digunakan mensubstitusi langsung atau bahan campuran premium. Substitusi premium dengan etanol sebagai bahan bakar transportasi secara tidak langsung akan mengurangi emisi karbon dioksida. Hal ini dimungkinkan karena dengan meningkatnya produksi bioetanol akan mendorong penanaman tanaman sehingga emisi karbondioksida yang dihasilkan akan terfiksasi melalui proses fotosintesis dari tanaman penghasil biomas [3]. Teknologi proses produksi etanol dalam proses hidrolisis biasanya dilakukan dengan metode konvensional yaitu dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) atau asam klorida (HCl). Namun metode ini kurang ramah lingkungan karena penggunaan asam dalam proses tersebut disamping biaya bahan kimia tersebut yang relatif mahal asam juga dapat menimbulkan korosif.
    Pengembangan teknologi bioproses dengan menggunakan enzim pada proses hidrolisisnya diyakini sebagai suatu proses yang lebih ramah lingkungan [4]. Pemanfaatan enzim sebagai zat penghidrolisis tergantung pada substrat yang menjadi prioritas, penelitian telah dilakukan untuk mengantikan asam yaitu menggunakan jamur pelapuk putih [5] untuk perlakuan awal kemudian dengan menggunakan enzim selulase untuk menghidrolisis selulosa menjadi glukosa, kemudian melakukan fermentasi dengan menggunakan S. cerivisiae untuk mengkonversi menjadi etanol. Namun, pemanfaatan enzim selulase dan yeast S. cerivisiae tidak mampu mengkonversi kandungan hemiselulosa pada bagas [6]. Padahal sekitar 20-25% komposisi karbohidrat bagas adalah hemiselulosa. Jika kita mampu mengkonversi hemiselulosa berarti akan meningkatkan konversi bagas menjadi etanol. Material berbasis lignoselulosa (lignocellulosic material) memiliki substrat yang cukup kompleks karena didalamnya terkadung lignin, polisakarida, zat ekstraktif, dan senyawa organik lainnya [7]. Bagian terpenting dan yang terbanyak dalam lignocellulosic material adalah polisakarida khususnya selulosa yang terbungkus oleh lignin dengan ikatan yang cukup kuat. Dalam kaitan konversi biomassa seperti bagas menjadi etanol, bagian yang terpenting adalah polisakarida. Karena polisakarida tersebut yang akan dihidrolisis menjadi monosakarida seperti glukosa, sukrosa, xilosa, arabinosa dan lain-lain sebelum dikonversi menjadi etanol. Proses hidrolisis umumnya digunakan pada industri etanol adalah menggunakan hidrolisis dengan asam (acid hydrolysis) dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) atau dengan menggunakan asam klorida (HCl) [8]. Proses hidrolisis dapat dilakukan dengan menggunakan enzim yang sering disebut dengan enzymatic hydrolysis yaitu hidrolisis dengan menggunakan enzim jenis selulase atau jenis yang lain. Keuntungan dari hidrolisis dengan enzim dapat mengurangi penggunaan asam sehingga dapat mengurangi efek negatif terhadap lingkungan. Kemudian setelah proses hidrolisis dilakukan fermentasi menggunakan yeast seperti S. cerevisiae untuk mengkonversi menjadi etanol. Proses hidrolisis dan fermentasi ini akan sangat efisien dan efektif jika dilaksanakan secara berkelanjutan tanpa melalui tenggang waktu yang lama, hal ini yang sering dikenal dengan istilah Simultaneous Sacharificatian dan Fermentation (SSF).
           SSF pertama kali dikenalkan oleh Takagi et al, 1977, yaitu kombinasi antara hidrolisis menggunakan enzim selulase dan yeast S. cerevisiae untuk fermentasi gula menjadi etanol secara simultan. Proses SSF sebenarnya hampir sama dengan dengan proses yang terpisah antara hidrolisis dengan enzim dan proses fermentasi, hanya dalam proses SSF hidrolisis dan fermentasi dilakukan dalam satu reaktor. Secara singkat reaksi yang terjadi melalui proses Simultaneous Sacharificatian dan Fermentation (SSF). Keuntungan dari proses ini adalah polisakarida yang terkonversi menjadi monosakarida tidak kembali menjadi poliskarida karena monosakarida langsung difermentasi menjadi etanol. Selain itu dengan menggunakan satu reaktor dalam prosesnya akan mengurangi biaya peralatan yang digunakan.

2. Metode Penelitian
          Persiapan sampel Bagas dihaluskan (kurang lebih 30-60 mesh) sehingga ukuran partikel lebih seragam, kemudian dikeringkan dengan oven selama 1 jam pada suhu 60-70 oC sehingga kadar air maksimal 10 % dan disimpan di tempat yang kering.

Enzim
Enzim komersial dipakai dalam hidrolisis yaitu enzim xylanase digunakan sebagai enzim pada proses hidrolisis dalam SSF. Stock pembiakan Saccharomyces Cerevisiae Saccharomyces Cerevisiae di-preculture pada Potato Dextrose Agar (PDA) 2%, Agar (0,25 g), H2O (50ml) dan diinkubasi selama 1-3 hari pada suhu 28 oC, kemudian digunakan sebagai yeast pada proses SSF. Persiapan yeast inoculum
Saccharomyces Cerevisiae dari stock di-preculture pada 50 ml medium (glukosa, 10 g l-1; yeast extract, 1,0 g l-1; KH2PO4, 0,1 g l-1; MgSO4.7H2O, 0,1 g l-1; dan (NH4)2SO4, 0,1 g l-1) dalam 200 ml flask, kemudian diinkubasi pada suhu 30 oC selama 24 jam menggunakan orbital shaker dengan kecepatan 100 rpm. Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak Medium untuk SSF sebanyak 5 ml terdiri dari sampel bagas (0,25 g), nutrients medium (2,5 ml), 0,05 M Nacitrate buffer (pH 5.0), selulase/xylanase (10 FPU), dan 10% (v/v) yeast inoculum. Sampel, nutrients medium dan buffer disterilisasi selama 121 oC dan 20 min pada autoclave, namun larutan enzim ditambahkan tanpa sterilisasi. Nutrients medium teridiri dari 1,0 g l-1 (NH4)2PO4; 0,05 g l-1 MgSO4.7H2O dan 2 g l-1 yeast extract. Kultivasi \ diambil dan dimasukan dalam test tube sebanyak 5.0 ml kemudian disentrifugasi menggunakan orbital shaker pada kecepatan 100 rpm selama 96 jam pada suhu 35 oC. 
      Cairan bersih sampel diambil dengan sampling 24, 48, 72 dan 96 jam dan diuji etanol yang dihasilkan. Analisis lignin, holoselulosa dan α-selulosa Lignin dianalisis dengan metode klason lignin yangtermodifikasi yaitu dengan menambahkan asam sulfat 72% pada sampel dan diaduk sampai hancur, diautoclave pada suhu 121 oC selama 30 menit, disaring dengan kertas saring, dibungkus dengan alumunium voil, di-oven selama 1 jam dan ditimbang berat akhirnya. Analisis holoselulosa dan α-selulosa dianalisis dengan metode wise yaitu sampel dicampur dengan natrium klorat, asam asetat dan aquades, diinkubasi dengan menggunakan air panas pada suhu 80 oC, didinginkan, difiltrasi dengan aquades dan terakhir dibilas dengan aseton. Kemudian bagian padat dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1-2 malam dan ditimbang beratnya. Penentuan Konsentrasi Etanol Konsentrasi etanol ditentukan dengan Gas Kromatografi (GC) jenis SUPELCOWAX-10 (Supelco Inc., 0,53 mm i.d., 15 m, 0,5 mm, FID) pada temperature 50 oC. Sebelum sampel diinjeksi kedalam GC terlebih dahulu mengukur larutan standar yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan konsentrasi etanol.

3. Hasil dan Pembahasan
Analisis Lignin Pada Bagas
     Bagas sebagai biomassa sebagian besar tersusun dari polisakarida dan senyawa berbasis fenol terutama selulosa, lignin dan sedikit senyawa yang mudah larut atau sering dikenal sebagai senyawa abu. Hasil analisis menunjukan bahwa kandungan lignin pada bagas berkisar 24% dari total bagas. Kemudian kandungan holoselulosa pada bagas sekitar 70% dan kandungan α- selulosa berkisar 50%. Kandungan hemiselulosa adalah holoselulosa dikurangi α-selulosa yang berarti kandungan hemiselulosa pada bagas yaitu sebanyak 20%. Hasil Analisis lignin, holoselulosa dan α-selulosa. Pada penelitian sebelumnya [9] kandungan lignin pada lignoselulosic material secara umum termasuk bagas dapat dikurangi dengan perlakuan dengan jamur pelapuk putih. Beberapa jamur pelapuk putih yang sering digunakan untuk biodegradasi lignin diantaranya Pleurotus ostreatus, Phanerochaete sordila Pycnoporus cinnabarinus, Sporotricum pulverulentum, Cyathus strecoreus, Pleurotus chrysosporium, Ceriperiopsis subvermispora, Lentinus edodes, Pleurotus eryngi dan Corolus versicolor dan lain-lain. Jamur C. subvermispora dan L. edodes merupakan jamur yang cukup efektif dalam mendegradasi lignin dan juga mampu meningkatkan produksi etanol dari kayu [6].
       Pada penelitian ini digunakan sampel bagas yang telah diberi perlakuan dengan L. edodes selama 4 minggu karena jamur tersebut cukup efektif dalam mendegradasi lignin [5]. Hal ini cukup penting karena lignin yang terdapat pada bagas dapat menghalangi atau memperlambat akses enzim dalam memecah polisakarida pada proses hidrolisis sehingga dapat meningkatkan etanol yang dihasilkan dalam proses fermentasinya [10]. Kemampuan jamur pelapuk putih untuk proses biodegradasi lignin disebabkan jamur ini mampu menghasilkan enzim-enzim seperti lignin peroxidase (LiP), manganese-dependent peroxidase (MnP), dan laccase [11]. Enzim-enzim ini mampu mengoksidasi senyawa-senyawa fenolik yang terdapat pada lignin sehingga ikatannya akan rusak. Semakin banyak lignin yang terdegradasi maka hidrolisis akan semakin sempurna sehingga proses fermentasi untuk mengkonversi menjadi etanol akan optimal. Pada bagas yang telah diberi perlakuan dengan L. edodes selama 4 minggu terjadi penurunan berat lignin, holoselulosa dan α-selulosa. Hal ini terjadi karena bagas menjadi media tumbuh jamur dan sumber makanan untuk tumbuh dan berkembangnya jamur tersebut Produksi Etanol dengan Proses SSF Secara umum sintesis bioetanol yang berasal dari biomassa terdiri dari dua tahap utama, yaitu hidrolisis dan fermentasi. Pada metode terdahulu proses hidrolisis dan fermentasi dilakukan secara terpisah atau Separated Hydrolisys and Fermentation (SHF) dan yang terbaru adalah proses Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF) atau Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak (SFS). Satu diantara beberapa keuntungan dari proses SSF adalah hidrolisis dan fermentasi dilakukan dalam satu wadah atau reaktor sehingga dapat berlangsung secara efisien. 
        Hidrolisis bertujuan untuk memecah polisakarida menjadi monosakarida sehingga dapat langsung difermentasi oleh yeast. Pada penelitian ini hidrolisis dilakukan secara biologis, yaitu menggunakan enzim. Enzim merupakan protein yang bersifat katalis, sehingga sering disebut biokatalis. Enzim memiliki kemampuan mengaktifkan senyawa lain secara spesifik dan dapat meningkatkan kecepatan reaksi kimia yang akan berlangsung lama apabila tidak menggunakan enzim. Enzim yang digunakan harus sesuai dengan polisakarida yang akan dihidrolisis. Berdasarkan data analisis pada sub-bab sebelumnya, ternyata kandungan hemiselulosa pada bagas sebesar ± 17,5 %. Hemiselulosa terbentuk dari polisakarida jenis pentosa dengan kandungan paling banyak adalah xylosa. Oleh karena itu digunakan enzim xylanase untuk memecah monomer-monomer xylan pada hemiselulosa menjadi xylosa. Setelah polisakarida dipecah menjadi monosakarida, maka oleh yeast akan difermentasi menjadi etanol. Monosakarida yang terbentuk akan diubah oleh yeast menjadi alkohol dan karbondioksida (CO2).
          Pada penelitian ini dilakukan perlakuan yang berbeda agar hasil yang diperoleh dapat dibandingkan satu sama lain. Perlakuan tersebut antara lain kondisi derajat keasaman (pH) yang berlainan dan penambahan asam dengan konsentrasi rendah serta menggunakan sampel yang sudah diberi perlakuan dengan jamur pelapuk putih. Kondisi pH pada proses ini dikontrol dengan menambahkan Na-citrate buffer. Variasi pH setiap proses SSF ditambahkan Na-citrate buffer dengan pH masing-masing sebesar 4, 4,5 dan 5. Sedangkan untuk variasi penambahan asam yang digunakan pada proses ini adalah asam klorida (HCl) dengan konsentrasi 0,5 % dan 1 %. Pada variasi penambahan asam dan perlakuan jamur pelapuk putih pH dikondisikan sebesar 5. Proses ini diinkubasi dan dishaker selama 96 jam, dimana setiap 24 jam akan disampling untuk dianalisis konsentrasi etanol yang telah terbentuk. Sehingga dapat ditentukan waktu optimum untuk proses SSF. Pengaruh Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) merupakan satu diantara beberapa faktor penting yang mampu mempengaruhi proses pada fermentasi etanol. Derajat keasaman optimum untuk proses fermentasi adalah antara 4-5. Pada pH dibawah 3, proses fermentasi akan berkurang kecepatannya. Pada penelitian ini divariasikan kondisi pH pada proses SSF yaitu sebesar 4, 4,5 dan 5. Derajat keasaman yang diinginkan diperoleh dengan menambahkan Na-citrate buffer, penambahan buffer disini dimaksudkan agar kondisi pH sesuai dengan besaran yang diinginkan. H paling tinggi dihasilkan pada proses dengan pH 5 yaitu sebesar 2,357 g/L pada 24 jam pertama sampai 2,639 g/L pada jam ke-96 sedangkan untuk pH 4 menghasilkan konsentrasi etanol paling sedikit yaitu sebesar 2,028 g/L sampai 2,287 g/L. 
          Maka terbukti bahwa yeast dapat berkembang dengan baik pada pH 5, oleh karena itu konsentrasi etanol yang dihasilkan lebihtinggi [12]. Sedangkan untuk hasil etanol per massa substrat untuk pH 4 sebesar 3,5 – 4,1 % , pH 4,5 sebesar 3,8 – 4,3 %, dan pH 5 sebesar 4,1 – 4,7 %. Jika kandungan hemiselulosa pada bagas sebesar 20%, maka yield etanol yang dihasilkan akan berkisar antara 17,5 - 23,5 %. Jika dilihat dari waktu inkubasinya, setelah melewati jam ke-48 konsentrasi etanol yang dihasilkan cenderung konstan. Hal ini terjadi pada semua variasi pada penelitian ini, sehingga dapat dikatakan bahwa waktu optimum dari kinerja yeast dan enzim adalah 48 jam. Kenaikan pH masih bisa terjadi karena fermentasi tidak hanya menghasilkan etanol tetapi juga menghasilkan senyawa-senyawa lain seperti asam asetat, asam levulinat dan asam formiat [13]. Asam asetat dapat dihasilkan oleh kontaminan bakteri yang hidup bersama ragi yaitu acetobacter. Lactobasilus juga dapat ikut mengkontaminasi dan mengubah glukosa menjadi asam laktat sehingga mengurangi yield etanol dan menghambat pertumbuhan yeast. 
         Pengaruh Penambahan Asam Konsentrasi Rendah Penambahan asam konsentrasi rendah dalam proses SSF bertujuan untuk menghidrolisis lignin, selulosa dan hemiselulosa yang tidak terhidrolisis oleh enzim xylanase sehingga hidrolisis yang terjadi lebih optimal maka diharapkan konversi etanol yang dihasilkan lebih besar. Proses hidrolisis asam dengan konsentrasi rendah pada umumnya dilakukan pada tekanan dan suhu tinggi, namun dalam proses ini penambahan asam dan enzim dilakukan secara bersamaan, sehingga suhu yang digunakan dalam proses ini merupakan suhu kamar ± 25 °C. Karena jika suhu tinggi maka enzim tidak dapat bekerja atau rusak. Variasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah HCl dengan konsentrasi 0,5 % dan 1 % ditambahkan sebanyak 20 % dari volume total proses SSF. Selain hidrolisis yang telah dilakukan oleh enzim xylanase diharapkan penambahan HCl konsentrasi rendah ini dapat menghidrolisis polisakarida yang tidak mampu dipecah oleh enzim. Dari data dengan variasi pH didapat pH optimum sebesar 5, maka pada variasi ini digunakan pH sebesar 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses SSF yang diberi penambahan asam, konsentrasi etanol akan meningkat sesuai dengan meningkatnya kandungan HCl yang ada. Pada kondisi tertentu pentosa yang terbentuk dapat diubah menjadi furfural yang dapat menghalangi proses fermentasi oleh yeast. Namun kondisi yang baik untuk terjadinya reaksi lanjutan setelah pentosa terbentuk pada temperatur tinggi (120-180 °C). Dengan penambahan HCl 1 % menghasilkan konsentrasi etanol tertinggi, yaitu mulai dari 2,756 g/L pada jam ke-24 hingga 3,249 g/L setelah 72 jam inkubasi Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan asam, maka polisakarida yang terhidrolisis lebih banyak daripada yang tidak dengan penambahan asam sehingga etanol yang dihasilkan juga lebih banyak.
     Enzim xylanase hanya akan menghidrolisis polisakarida dengan ikatan pentosa, yaitu xylan menjadi xylosa. Sedangkan dengan penambahan HCl maka akan ada sedikit selulosa yang terhidrolisis menjadi glukosa, sehingga monosakarida yang difermentasi oleh yeast juga lebih banyak. Pada penambahan HCl dengan konsentrasi 0,5 %, konsentrasi etanol yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan penambahan HCl 1 % yaitu 2,662 g/L pada jam ke-24 hingga 2,944 g/L, namun lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan fermentasi tanpa penambahan HCl yaitu 2,375 g/L hingga 2,709 g/L. hasil etanol per massa substrat untuk penambahan HCl 0,5 % sebesar 4,6 – 5,1 %, untuk penambahan HCl 1 % sebesar 4,8 – 5,6 %, dan tanpa HCl sebesar 4,1 – 4,7 %. Dengan kandungan hemiselulosa pada bagas sebesar 20%, maka yield etanol yang dihasilkan akan berkisar antara 20 – 28 %. Jika dilihat dari perubahan konsentrasi etanol terhadap waktu, terdapat kecenderungan bahwa kadar etanol akan terus meningkat hingga jam ke-72. Tetapi setelah jam ke-96 konsentrasi etanol cenderung konstan, bahkan ada yang menurun yaitu untuk variasi tanpa penambahan HCl. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh volume larutan yang mempengaruhi kinerja ragi setelah waktu inkubasi memasuki jam ke-48. Namun ada juga kemungkinan glukosa maupun pentosa yang telah terhidrolisis telah habis terfermentasi oleh yeast karena sudah tidak ada lagi monosakarida yang dihasilkan dari hirolisis polisakarida. Hal ini bisa disebabkan oleh inhibitor-inhibitor yang ada dalam biomassa antara lain lignin, asam lemah, turunan senyawa fenolik [14].

Pengaruh Perlakuan Jamur Pelapuk Putih
        Produksi etanol pada bagas dengan proses Simultaneous Sacharification dan Fermentation (SSF) setelah dilakukan perlakuan dengan jamur pelapuk putih mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Peningkatan ini salah satunya disebabkan kemampuan jamur pelapuk putih mampu membongkar rantai lignin yang cukup kompleks yang dapat menghalangi atau memperlambat akses enzim pada proses hidrolisis sehingga dapat meningkatkan etanol yang dihasilkan dalam proses fermentasinya [10]. Hasil analisis menunjukan bahwa kandungan lignin pada bagas berkisar 24,2 % dari total bagas. Kemudian kandungan holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) pada bagas sekitar 70,2% dan kandungan α-selulosa berkisar 52,7 %, maka kandungan hemiselulosa pada bagas sekitar 17,5 %. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumya bahwa setelah dilakuan perlakuan dengan L. edodes terjadi penurunan berat bagas. Kehilangan berat selama perlakuan ini terjadi pada lignin atau holoselulosanya. Perlakuan dengan jamur pelapuk putih dikatakan efektif atau memiliki selektifitas yang baik jika jamur tersebut mampu mendegradasi lignin lebih besar dari pada degradasi pada selulosanya, yang ditandai dengan terjadi kehilangan berat lignin lebih besar dibandingkan dengan kehilangan berat selulosanya [15]. 
        Setelah mendapat perlakuan jamur Lentinus edodes selama 4 minggu, komposisi bagas mengalami penurunan. Penurunan komposisi lignin sebesar 9,9 %, holoselulosa sebesar 7,8 % dan α- selulosa sebesar 6,1 %. dikatakan bahwa jamur pelapuk putih dapat mendegradasi ikatan lignin lebih besar daripada selulosa dan hemiselulosa. Maka dalam hal ini jamur L. edodes mempunyai selektifitas dalam proses mendegradasi lignin pada bagas. Selain itu, persentase kehilangan kandungan selulosa cukup besar selama perlakuan 4 minggu. Hal ini disebabkan karena semakin lama perlakuan, maka kebutuhan makanan dari jamur juga akan semakin besar. Hasil ini juga menunjukan bahwa jamur Lentinus edodes mempunyai kemampuan selektivitas yang tidak terlalu besar selama perlakuan 4 minggu, karena cukup banyak selulosa yang terdegradasi. Degradasi lignin oleh jamur L. edodes dapat terjadi selama berlangsungnya proses metabolisme sekunder dan pada kondisi dimana jamur kekurangan nitrogen [16].
     Kemampuan degradasi jamur pelapuk putih dan komponen kimia yang didegradasinya sangat bergantung pada jenis jamur dan enzim lignolitik yang dapat dihasilkannya. Jamur pelapuk putih pada umumnya mengeluarkan enzim lignolitik seperti Lignin Peroksida (LiP), Mangan Peroksida (MnP), Versatil Peroksida (VP), Laccase, Glyoxal Oxidase (Glox), Aryl Alcohol Oxidase (AAO), dan hidrogen peroksida lainnya [16].

4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Produksi etanol melalui proses SSF tertinggi adalah pada kondisi derajat keasaman (pH) sebesar 5 dengan menghasilkan konsentrasi etanol sebesar 2,709 g/L atau 4,7 % per massa bagas dibandingkan
dengan pH 4 sebesar 2,357 g/L atau 4,1 % per massa bagas dan pH 4,5 sebesar 2,451 g/L atau 4,3 % per massa bagas.
2. Penambahan asam berkonsentrasi rendah mampu meningkatkan produksi etanol yang dihasilkan melalui proses SSF. Peningkatan tertinggi dengan penambahan asam klorida (HCl) konsentrasi 1% (v/v) yang menghasilkan etanol sebesar 3,249 g/L atau 5,6 % per massa bagas dibandingkan dengan penambahan 0,5 % sebesar 2,967 g/L atau 5,2 % per massa bagas dan tanpa penambahan asam sebesar 2,709 g/L atau 4,7 % per massa bagas.
3. Perlakuan jamur pelapuk putih, Lentinus edodes, mampu meningkatkan produksi etanol dari bagas dengan proses SSF. Konsentrasi etanol yang dihasilkan sebesar 3,202 g/L atau 5,6 % per massa bagas dibandingkan tanpa perlakuan sebesar 2,709 g/L atau 4,7 % per massa bagas.
4. Enzim xylanase mampu menghidrolisis hemiselulosa pada bagas, karena tanpa menggunakan enzim tidak ada etanol yang dapat di hasilkan.

Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didukung oleh dana penelitian Riset Unggulan Universitas Indonesia 2006-2007 yang merupakan program Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.

Daftar Acuan
[1] Lynd, L.R., Bothast, R.J., Wyman, D.E. 1991. Fuel etanol from cellulosic biomass. Science 251: 1318-
1323.


[2] Wyman, C.E., 1994. Etanol from ligcellulosic biomass: Technology, economics, and opportunities. Biores. Technol. 50, 3-6.
[3] Millan, J.D. 1997. Bioetanol production: status dan prospects. Renewable Eng. 10, 295-302.
[4] Pandey,A. Soccol,C.R. Nigam,P. And Soccol,V.T. 2000. Biotechnological potential of agro-indistrial
residues. Sugarcane bagasse. Bioresour Technol. 74: 69-80
[5] Samsuri, M. “Pengaruh Perlakuan Jamur Pelapuk Putih dan Steaming pada Produksi Ethanol dari Bagas melalui proses Sakarifikasi dan Fermentasi secara Serentak (SSF).” Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas Teknik UI, Depok, 2006.
[6] Itoh. H., Wada. M., Honda. Y., Kuwahara. M., Watanabe. T., 2003. Bioorganosolve pretreatments for simultaneous saccharification dan fermentation of beech wood by etanolysis dan white rot fungi. J. Biotechnol. 103, 273-280
[7] Castello, R., dan Chum, H. (1998). Biomass, bioenergi dan carbon management. In “Bioenergi  ’98: Expdaning Bioenergi Partnerships” (D. Wichert, ed.). pp. 11-17.
[8] Lee, S. S., J. K. Ha, H. S. Kang, T. McAllister, and  K.-J. Cheng. 1997. Overview of energy metabolism, substrate utilization and fermentation characteristics of ruminal anaerobic fungi. Korean J. Anim. Nutr. Feedstuffs 21:295–314.

[9] Samsuri, M., Hermiati, E., Prasetya, B., Honda, Y., Watanabe, T., 2005 Efects of fungal treatment on ethanol production from bagas using Simultaneous Sacharificatin and Fermentation. Preceeding of fifth international wood science seminar, 29-31 Agustus 2005.
[10] Sun, Y., Cheng, J. 2002. Hydrolysis of  lignocellulosic materials for etanol production: review. Biores. Technol 83, 1-11.
[11] Ramos J, Rojas T, at. All. 2004. Enzymatic and fungal treatments on Sugarcane bagas for the production mechanical pulp. J. Aric. Food Chem 52, 5057-5062
[12] Frazier, W. C. And Westhoff D. C. (1978). Food Microbiology. 3rd Edition. Hill Publishing Co. New York.
[13] Palmqvist, E. 1998. Fermentation of lignocellulosic hydrolysates: inhibation and detoxification. Doctoral thesis, Lund University, Lund, Sweden.
[14] Cantarella, M., Cantarella, L., Gallifuoco, A., Spera, A., Alfani, F., (2004). Comparison of different detoxification methods for steamexplodedpoplar wood as a substrat for the bioproduction of etanol in SHF dan SSF. Process biochem. 39, 1533-1542.
[15] Blanchette, R.A., Burnes, T.A., Eerdmans, M.M., Akhtar, M., 1992. Evaluating Isolates Of Phanerochaete Chrysosporium And Ceriporiopsis Subvermispora For Use In Biological Pulping Process. Holzforschung 46, 105-115.
[16] Hatakka, A. (2001) Biodegradation of lignin. In M. Hofrichter and A. Steinbüchel (eds.), Biopolymers, vol. 1. Wiley-VCH, Weinheim, Germany. p. 129-180.
[17] Nagai, M., Sato, T., Watanabe, H., Saito, K., Kawata, M. and Enei, H. (2002) Purification and characterization of an extracellular laccase from the edible mushroom Lentinula edodes, and decolorization of chemically different dyes. Appl. Microbiol. Biotechnol. 60: 327-335.Pan, X., Arato, C., Gilkes, N., Gregg, D., Mabee, W., Pye, K., Xiao, Z., Zhang, X., Saddler, J., 2004. Biorefiningof softwoods using etanol organosolv pulping: Preliminary evaluation of process streams for manufacture of fuel-grade etanol and coproducts. Biotechnol. Bioeng. 90, 473-481.
[18] Hofrichter, M. (2002) Review: Lignin conversion by manganese peroxidase (MnP). Enzyme Microb.
Technol. 30:454-466. 

[19] Reinhammar B.1984. Laccase. In: Lontie R. (Ed.). Copper proteins and copper enzymes, Vol. III.
Boca Raton, FL: CRC Press, Boca Raton. Pp. 1- 35.
[20] Thurston CF. 1994. The Structure and functin of fungal laccases. Microbiology 14, pp. 19-26.
[21] Bourbonnais R, and Paice M. 1990. Oxidation of non-phenolic substrates. An expanded role of
laccases in lignin biodegration. FEBS lett. 267, pp. 99-102.